Peran Aceh Dalam Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949)


Pendahuluan

Tanggal 17 Agustus 1945 Republik Indonesia di proklamirkan kemerdekaannya oleh Soekarno Hatta. Pernyataan kemerdekaan itu tidak langsung diterima baik oleh semua pihak, terutama pihak Belanda dengan gigih berusaha untuk kembali menguasai seluruh kepulauan Indonesia. Pertentangan pihak Belanda dengan Indonesia sampai menjelang tahun 1950. mereka menjalankan politik adu domba dan pecah belah diantara rakyat Indonesia dengan maksud dapat menduduki kembali seluruh kepulauan Indonesai.


Dalam upaya menjajah Indonesia kembali, Belanda menyiarkan berita-berita melalui surat kabar dan radio, bahwa kedatangan mereka ke Indonesia bukan untuk berperang dan menjajah, tetapi menjaga keamanan yang diakibatkan oleh perang Dunia II. Selain melalui siaran propaganda, pihak Belanda juga melakukan dua kali agresi bersenjata terhadap Indonesia, yaitu agresi pertama tahun 1947 dan kedua tahun 1948. Akibat serangan itu dalam waktu relatif singkat hampir seluruh wilayah Indonesia dapat mereka duduki kembali.

Daerah yang belum mereka kuasai satu-satunya adalah Aceh, sehingga Republik Indonesia yang berusia muda itu masih mempunyai modal yang sangat kuat untuk mempertahankan kedaulatan kemerdekaannya. Belanda berkali-kali berusaha menghancurkan perlawanan rakyat Indonesia di daerah Aceh dengan pendaratan pasukannya yang selalu dapat digagalkan. Beberapa kali Belanda melancarkan serangan udara terutama terhadap komando Artileri dilapangan udara Lhok Nga dan beberapa kota lainnya, seperti Ulee Lheue, Sigli, Lhoksumawe, Langsa, Meulaboh dan Tapak Tuan, tetapi dapat di balas rakyat Indonesia di daerah Aceh dengan menggunakan meriam-meriam anti pesawat terbang.

Pasukan marinir Belanda juga selalu berusaha melakukan percobaan pendaratan pada tempat-tempat strategis dan pelabuhan-pelabuhan sepanjang pantai Aceh, seperti Ulee Lheue, Ujong Batee, Krueng Raya, Sigli, Ulee Kareueng, Lhoksumawe, Langsa, Meulaboh, Tapak Tuan dan lain-lain. Armada-armada perang Belanda yang sering beroperasi pada waktu itu, antara lain Jan Van Bukker, Ban Jan Van Gallaen.
Oleh karena kuatnya pertahanan pantai yang dilengkapi dengan meriam-meriam pantai hasil rampasan dari tentara Jepang serta dilandasi pula oleh semangat rakyat yang bergelora, maka wilayah Aceh terus dapat dipertahankan kemerdekaannya dengan selalu mengagalkan rencana pendaratan Belanda. Untuk mengetahui situasi di darat, Belanda sering menangkap para nelayan dengan menyeret mereka ke kapal. Rencana Belanda untuk menduduki daerah Aceh tidak pernah terlaksana sampai saat mereka mengakui kemerdekaan Indonesia pada akhir tahun 1949.


Gelora Kemerdekaan Di Aceh

Berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tidak segera diketahui di Aceh. Berita baru diketahui secara resmi oleh rakyat Aceh pada tanggal 29 Agustus 1945 setelah kembalinya Mr. T.M. Hasan dan Dr. M. Amir dari Jakarta. Kedua orang ini mewakili pusat Republik Indonesia untuk seluruh pulau Sumatera.

Akan tetapi desa-desus mengenai berita tersebut jauh sebelumnya telah didengar oleh beberapa orang tokoh Aceh. Mereka belum berani mengumumkannya kepada masyarakat, karena masih merasa takut pada kekejaman tentera Jepang..

Setelah diketahui secara resmi tentang kekalahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia, atas keberanian para pemuda Aceh terus mengadakan kampaye kepada rakyat untuk menyiarkan berita tersebut. Melalui usaha para pemuda pula yang dengan beraninya mencetak berita-berita itu pada percetakan “Semangat Merdeka” serta kemudian disebarkan kepada masyarakat dengan sangat hati-hati, karena pada masa itu Jepang masih menguasai semua instansi pemerintahan.


Para pemuda melaksanakan pengambilan beberapa instansi pemerintahan Jepang seperti Kantor Percetakan “ Atjeh Shimbun”, Pemancar Radio Jepang “Hodoka” Kantor Berita Jepang “Domei” dan instansi-instansi lainnya; yang diperlukan bagi memperlancar pembentukan pemerintahan Republik Indonesia. Surat kabar “Semangat Merdeka” diterbitkan 14 Oktober 1945 oleh para pemuda untuk menyebarluaskan berita-berita proklamasi dengan cara menempel di tembok-tembok, di rumah-rumah, di toko-toko, di kantor dan sebagainya.

Pihak Sekutu yang menang perang terhadap Jepang tidak berapa lama kemudian mendarat di Indonesia dengan membonceng tentara Belanda dan NICA (Netherlands Indies Civil Administation) di belakangnya. Sebelum melakukan pendaratan, Jenderal Sir Philip Christison yang memimpin pasukan Sekutu pada tanggal 25 September 1945 menyiarkan dari Singapura melalui radio dan wawancara Pers bahwa tentara Sekutu yang mendarat di Jawa dan Sumatera tidak membawa serdadu-serdadu Belanda dan NICA. Bendera merah putih boleh di kibarkan terus dan organisasi di bawah pimpinan Soekarno tidak dilucuti senjatanya.

Jenderal Sir Philip Christison menegaskan pula, bahwa hanya ada tiga tugas dari kedatangan tentara Sekutu di Indonesia, yaitu melucuti senjata Jepang, mengembalikan orang tawanan dan tahanan Jepang; serta menjaga keamanan. Propaganda yang disiarkan oleh Christison ini berlainan sekali dengan kenyataannya. Setelah tentara Sekutu mendarat di Indonesia.mereka mengadakan tindakan-tindakan seperti merampas toko-toko, kantor-kantor pemerintah. Sekutu memperkuat pula kedudukannya di beberapa kota di Indonesia, serta melakukan kekacauan di kota-kota yang menimbulkan insiden-insiden kecil yang kemudian berubah menjadi pertempuran secara besar-besaran.

Daerah Aceh yang merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia, agak berbeda dari daerah-daerah lainnya dalam mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.. Selama berkecamuknya perang kemerdekaan, Aceh tetap dapat mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia secara keseluruhan.

Aceh di juluki sebagai Daerah Modal, bukan saja dari kekuatan-kekuatan rakyat Aceh mempertahankan tanah air, tetapi juga karena di Aceh terdapat alat komunikasi seperti pers dan radio. Dengan adanya pers dan radio mempermudah hubungan antara pemerintah daerah-daerah lain serta antara pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat.

Daerah Aceh memang tidak berhasil di kuasai musuh, namun bukan berarti daerah ini tidak pernah di serang oleh tentara Belanda. Mereka sering melakukan serangan baik melalui udara maupun laut seperti didaerah Lhok Nga, Ujong Batee, Ulee Lheue, Lhoksumawe dan beberapa tempat lainya. Namun demikian serangan-serangan Belanda itu selalu dapat dipatahkan oleh angkatan bersenjata daerah Aceh.

Ketidakberhasilan Belanda menguasai Aceh, menyebabkan Aceh menjadi aman dan pemerintah berjalan lancar. Hal ini memberikan kesempatan kepada Aceh untuk memperbaiki dan membangun saluran komunikasi seperti pers dan radio, karena itulah melalui pers dan radio pemerintah Aceh dapat memberi bantuan yang pertama-tama ke daerah-daerah lain yang sedang menghadapi tentara Belanda.

Demi kelancaran perhubungan Aceh dengan daerah-daerah lain di Indonesia, pemerintah daerah Aceh pertama sekali menggunakan media massa Post Telegram Telepon (PTT). Post Telegram Telepon sudah dikenal di Aceh semasa Belanda berkuasa di Aceh. Post Telegram Telepon mempunyai peranan dalam masa perang kemerdekaan Republik Indonesia, karena melalui media ini dapat menyampaikan suatu berita dan menerima berita secara praktis tanpa ada alat perantara.

Keberadaan telegram tersebut membuat daerah Aceh lebih percaya diri dalam rangka membantu bangsanya yang sedang berjuang mati-matian mmpertahankan kemerdekaan Republikm Indonesia. Kemudian pemrintah daerah Aceh mengirim pasukan bersenjata Aceh untuk memperkuat perlawanan terhadap Belanda yang penting sekali artinya di daerah lainnya.

Pemancar radio Kutaraja pada mulanya sangat sederhana bentuknya dan keadaannya. Namun demikian peranannya dalam mendorong dan membangkitkan semangat juang rakyat melawan pemerintah Belanda sangat penting sekali artinya di masa revolusi tersebut.

Ketika Belanda melancarkan agresi yang pertama ke seluruh pelosok tanah air Indonesia dan pada hari itu juga yaitu tanggal 21 Juli 1947, lapangan terbang Lhok Nga mendapat serangan dari Angkatan Udara dan Angkatan Laut, yang kemudian di ikuti dengan beberapa daerah pantai lainnya. Namun Belanda tetap tidak berhasil menguasai Aceh, sedangkan daerah-daerah diluar Aceh hampir keseluruhan dapat dikuasai mereka. Ketika itu peranan radio Kutaraja semakin bertambah penting kedudukannya sebagai alat komunikasi.

Disamping radio Kutaraja, angkatan perang atau Gajah Devinisi X atas nama pemerintah daerah Aceh; walau dalam keadaan kritis ini berhasil pula mendirikan sebuah pemancar lagi yang kuat jangkauan siarannya, yaitu di kenal dengan nama Radio Rimba Raya. Melalui radio Kutaraja dan Radio Rimba Raya inilah secara bersama-sama amat berperan dalam rangka mengorbarkan semangat kepada para prajurit di kantong-kantong gerilya yang sedang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Radio Kutaraja yang pada umumya memberi semangat kepada para pejuang yang berada digaris depan, maupun kepada masyarakat untuk memberi sumbangan untuk pembiayaan perang di sekitar daerah Aceh serta daerah-daerah lain sejauh jangkauan siarnya; dapat di terima dalam wilayah Indonesia.
 .
Dalam suatu revolusi nasional atau dikenal dengan kemerdekaan Indonesia, bahwa faktor ekonomi juga sangat menentukan berhasil atau tidaknya revolusi yang sedang berlangsung. Peranan pers dan radio dalam perang kemerdekaan dibidang ekonomi adalah menyiarkan tentang kebutuhan para pejuang, agar masyarakat dapat membantunya seperti memberi sumbangan makanan, pikiran dan persediaan perlengkapan lainnya.

Pada bulan Juni 1948 Presiden Soekarno dalam kunjungannya ke Aceh, mengundang tokoh-tokoh pejuang, para pengusaha, dan beberapa pemuda untuk berkumpul di Hotel Atjeh. Presiden meminta kepada masyarakat Aceh untuk menyumbangkan dua buah pesawat yang sangat di butuhkan untuk kelancaran perjuangan. Dengan bantuan para saudagar, pemerintah daerah Aceh telah dapat membeli dua buah pesawat pada akhir bulan Oktober 1948 dengan nomor register RI-001. pesawat itu kemudian oleh Presiden Soekarno diberi nama “Seulawah RI-001.” Sementara pesawat satu lagi telah di hadiahkan kepada pemerintah Birma, sebagai tanda terima kasih atas semua fasilitas yang di berikan untuk perwakilan Garuda beroperasi di Birma.


Peran Aceh Dalam Perang Kemerdekaan RI

Perjuangan Rakyat Aceh di Medan Area. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan di Aceh pasukan angkatan perang Aceh tidak hanya berjuang di Aceh saja akan tetapi juga terus-menerus dikirim ke Medan atau pun ke tempat-tempat lain di Sumatera Timur(sekarang:Sumatera Utara). Di sana pasukan Aceh berjuang di Medan Area dan berbagai medan pertumpuran yang hendak dicaplok musuh. Menghadapi tentara Belanda yang bersenjata mutakhir, panglima tentara RI Mayor Jenderal R. Suharjo Harjowardoyo menumpahkan harapan besar kepada pasukan Aceh.

Dalam sebuah telegramnya, panglima meminta kepada pemimpin rakyat Aceh supaya menyediakan terus kekuatan dari Aceh ke Medan. Pengembalian kota Medan terletak di tangan saudara-saudara segenap penduduk Aceh.


Akibat agresi pertama Belanda ini menyebabkan negara republik Indonesia dihadapkan kepada suatu tantangan besar. Dalam situasi yang krisis itu wakil Presiden Muhammad Hatta mengangkat Tgk. Muhammad Daud Breu-eh menjadi gubernur militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo dengan pangkat Jenderal Mayor. Akibat agresi Belanda pertama banyak pasukan dan rakyat Sumatera Timur mengungsi ke Aceh yang masih aman dari tekanan pihak Belanda.

Pada masa Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh menjadi Gubernur Militer Daerah Aceh, Langakat dan Tanah Karo; terjadilah agresi Belanda kedua. Pada hari pertama agresi tersebut tanggal 19 Desember 1948 Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta dapat di duduki oleh Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Prsiden Muhammad Hatta beserta beberapa menteri dan beberapa tokoh lainnya dapat ditawan oleh Belanda. Tanggal 19 Desember 1948 pemerintah memberikan kuasa kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukit Tinggi untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan PDRI, sedangkan di Jawa dibentuk Komisariat Pemerintahan yang terdiri dari Mr. Sukiman. Mr. Susanto Tirtiprodjo.

Dengan agresi Belanda yang kedua dapat dilakatakan, bahwa hampir seluruh wilayah di Sumatera telah berada di bawah kekuasaan Belanda. Satu-satunya daerah yang masih utuh belum dimasuki Belanda adalah Daerah Aceh.

Untuk mengahadapi kekuatan Belanda di Sumatera Timur (Sumatera Utara) dan didasarkan kepada pertimbangan, bahwa lebih baik pasukan Aceh menyerang Belanda dari pada bertahan di Aceh, Laskar berjumlah 60 orang yang diperbantukan pada batalion TRI Devisi juga dikirimkan ke kesatuan laskar Aceh dari Devisi Tgk. Chik Di Tiro, Divisi Direncong, Devisi Tgk. Chik Paya Bakong dan Tentara Pelajar. Oleh karena semakin hari semakin banyak yang datang ke Medan Area, maka terpaksa dibentuk suatu badan koordinasi yang disebut dengan RIMA (Resimen Istimewa Medan Area) yang terdiri dari 4 batalion yaitu batalion Wiji Alfisah, batalion Altileri Devisi Rencong, Devisi Tgk. Chik Di Tiro, dan Devisi Tgk. Chik Paya Bakong.

Tugas pertama dari pasukan tersebut adalah untuk merebut kembali daerah yang diduduki Belanda. Namun hal ini kurang berhasil karena kurang terkoordinirnya pasukan bersenjata Republik Indonesia, bahkan sering terjadi pasukan komando itu tidak dapat menjalin kerjasama, sehingga tidak dapat menggerakkan suatu serangan yang serentak terhadap Belanda.

Walaupun tugas utamanya tidak berhasil, namun untuk menghalau gerak maju pasukan Belanda ke Aceh cukup berhasil. Ini dapat dilihat karena tidak ada satu daerah pun di Aceh dapat di duduki kembali oleh Belanda.


Sumbangan Rakyat Aceh

Pada bulan Juni 1948 Presiden Soekarno dalam kunjungannya ke Aceh, mengundang tokoh-tokoh pejuang, para pengusaha, dan beberapa pemuda untuk berkumpul di Hotel Atjeh. Presiden meminta kepada masyarakat Aceh untuk menyumbangkan dua buah pesawat yang sangat di butuhkan untuk kelancaran perjuangan. Dengan bantuan para saudagar, pemerintah daerah Aceh telah dapat membeli dua buah pesawat pada akhir bulan Oktober 1948 dengan nomor register RI-001. pesawat itu kemudian oleh Presiden Soekarno diberi nama “Seulawah RI-001.” Sementara pesawat satu lagi telah di hadiahkan kepada pemerintah Birma, sebagai tanda terima kasih atas semua fasilitas yang di berikan untuk perwakilan Garuda beroperasi di Birma.

Daerah Aceh merupakan daerah yang tidak pernah dikuasai oleh musuh dan merupakan modal utama Republik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaannya. Pernyataan ini didukung kenyataan, bahwa satu-satunya daerah dalam wilayah Republik Indonesia pada waktu itu yang tidak pernah diduduki oleh Belanda adalah daerah Aceh. Hal ini pulalah yang dijadikan modal utama utusan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KBM) di Den Haag itu, bahwa Republik Indonesia masih memiliki wilayah bebas penguasaan Belanda.

Selain itu ucapan Presiden diatas berhubungan dengan berbagai sumbangan yang telah diberikan rakyat Aceh kepada perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, seperti sumbangan sebuah pesawat. Mengenai antusias rakyat Aceh dalam membantu pembelian pesawat udara ini di ceritakan oleh beberapa informan, bahwa rakyat begitu rela pintu rumah mereka digedor di waktu malam hari untuk menyumbangi sebagian dari emas atau barang lainnya demi untuk negara.

Pesawat yang dibeli dengan sumbangan rakyat Aceh ini diberi nama “Seulawah” yaitu nama sebuah gunung yang terdapat di perbatasan Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, dan pesawat ini diberi nimor RI-001.


Bahwa uang yang disumbangkan rakyat Aceh untuk membeli pesawat udara jenis Dakota tersebut cukup untuk dua pesawat. Namun sebuah diantaranya masih merupakan teka-teki, karena menurut kenyataan yang ada hanya sebuah pesawat (RI-001). Menurut A. Hasjmy, bahwa penyelewengan ini dilakukan di Singapura, tetapi pelakunya belum diketahui. Namun sebuah sumber lain menyebutkan bahwa pesawat yang satu lagi telah dihadiahkan kepada pemerintah Birma, sebagai tanda terima kasih atas semua fasilitas yang diberikan perwakilan Garuda beroperasi di Birma.

Pada mulanya pesawat ini merupakan jajaran dalam angkatan udara Republik Indonesia dan rute luar neger,i yaitu Birma dan Calkutta. Sedangkan fungsinya didalam negeri selain dapat menjembatani pulau Sumatera dan Jawa; juga untuk menerobos blokade Belanda menerbangkan tokoh-tokoh politik bangsa Indonesia.

Kemudian pada tanggal 26 Januari 1949 RI-001 menjadi pesawat komersil yang dicarter oleh Indonesia Airways, yang kemudian dikenal dengan Garuda Indonesia Airways. Adapun menagernya yang pertama adalah Wiweko Supeno.

Selain telah menyumbang pesawat udara untuk kepentingan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, rakyat Aceh juga menyumbang kepada pemerintah Republik Indonesia berupa senjata, makanan, pakaian dan lain-lain untuk membantu perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Timur. Pada tahun 1948 rakyat Aceh telah mengirimkan ke daerah Medan Area sebanyak 72 ekor kerbau.


Peranan Radio Rimba Raya

Salah satu modal perjuangan Bangsa Indonesia pada masa perang kemerdekaan adalah alat komunikasi, yaitu Radio Rimba Raya. Sejak masa awal perang kemerdekaan 1946 daerah Aceh telah memiliki sebuah pemancar radio yang ditempatkan di Kutaraja. Dan dalam perkembangan selanjutnya dalam tahun 1947 ditambah sebuah pemancar lagi yang ditempatkan di Aceh Tengah dan dikenal dengan nama Radio Rimba Raya. Kedua pemancar ini telah memegang peranan cukup besar pada masa perang kemerdekaan, sehingga sarana ini dapat dikatakan Modal Perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.

Mengenai Radio Republik Indonisia Kutaraja, pertama kali mengumandang di udara pada tanggal 11 Mei 1947 dengan kekuatan 25 watt melalui gelombang 68 meter. Jangkauan siarannya hanya sekitar Kutaraja, namun dalam perkembangannya tahun 1947 radio ini berhasil di kembangkan menjadi 100 watt, yang jangkauan siarannya sampai ke kota Medan dan Bukti Tinggi. Selanjutnya pada bulan April 1948 radio ini di kembangkan lagi hingga menjadi 325 watt dan mengudara melalui gelombang 33,5 meter dan penyiarannya sudah dapat di tangkap di luar negeri. Ketika Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bersidang membicarakan masalah pertikaian antara Republik Indonesia dengan Belanda, Radio Republik Indonesia Kuta Raja ini berulang-ulang mengadakan siaran dengan menyiarkan hasrat/keinginan dan tekad bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.

Mengenai Radio Rimba Raya berbeda dengan Radio Republik Indonsia Kutaraja. Pemancar Radio Rimba Raya ini mempunyai kekuatan cukup besar yaitu 1 kilowatt yang dikelola oleh Devisi X TNI yang dipimpin Mayor John Lie.

Pemancar ini pertama sekali dipasang di Krueng Simpo sekitar 20 km dari kota Takengon, kemudian atas perintah Gubernur Militer radio ini dipindahkan ke Cot Gu (Kutaraja). Lalu dipindahkan lagi ke Aceh Tengah karena para pemimpin memperkirakan, bahwa pada gilirannya Belanda akan menyerbu ke Aceh. Radio ini di tempatkan di sebuah gunung yang dikenal dengan Burmi Bius yang letaknya 10 km dibagian barat kota Takengon.

Dalam waktu singkat sesuai dengan suasana yang mencekam dan kebutuhan mendesak, pemancar Radio Rimba Raya selesai di bangun yang dikerjakan oleh W. Schultz seorang warga negara RI keturunan Indonesia-Jerman bersama rekannya. Maka semenjak itulah ketika pemancar-pemancar utama di berbagai kota tidak mengudara lagi; karena dikuasai Belanda, maka Radio Rimba Raya mengisi kekosongan ini dengan hasil yang baik sekali.

Ketika radio Batavia dan Radio Hilversum memberitakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi, karena setelah Yogyakarta dapat direbut disusul pula dengan jatuhnya daerah-daerah kekuasaan Republik Indenesia lainnya, Radio Rimba Raya membantah dengan tegas, yang menandaskan “Bahwa Republik Indonesia masih ada, Tentara Republik Indonesia masih ada, Pemerintah Republik Indonesia masih ada, dan wilayah Republik Indonesia masih ada.” Dan disini, adalah Aceh, salah satu wilayah Republik Indonesia yang masih utuh sepenuhnya”,kata siaran radio tersebut. Berita ini dikutip oleh All India Radio; kemudian menyiarkan lagi, sehingga dunia pun mengetahui kebohongan Belanda.


Kesimpulan

Berdasarkan hasil isi paper diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Aceh merupakan salah satu wilayah Republik yang setia pada pemerintah Indonesia. Daerah Aceh merupakan Modal utama dalam perjuangan kemerdekaann Republik Indonesia, karena tidak pernah dikuasai oleh musuh dan masih utuh sepenuhnya. Aceh merupakan juga daerah yang selalu menyumbang atau selalu memberi bantuan kepada Republik Indonesia; baik berupa senjata, makanan, dan pakaian untuk membantu perjuangan dalam menegakkan kemerdekaan. Unsur ajaran Islam berupa semangat jihad fisabilillah atau Perang di Jalan Allah sangat berperan dalam perang kemerdekaan Indonesia di Aceh. Hikayat Prang Sabi (Hikayat Perang Sabil), yang mendorong rakyat Aceh melawan Belanda pada Zaman Perang Belanda dahulu, juga bergema kembali pada era perang kemerdekaan Indonesia.
Sumber:

http://tambeh.wordpress.com/2010/01/01/peran-aceh-dalam-revolusi-kemerdekaan-republik-indonesia1945-1949/

SEJARAH MELETUSNYA REVOLUSI PERANCIS

Revolusi Perancis merupakan suatu proses perubahan yang dimulai pada tahun 1789 sampai 1871. Perubahan secara besar-besaran itu terjadi ada tahun 1789, 1830, 1848, dan 1871. Revolusi Perancis disebut juga Revolusi Juli karena meletus pada tanggal 14 Juli 1789 sebagai reaksi terhadap kekuasaan raja yang sewenang-wenang (absolut). Revolusi ini terjadi ketika negara dalam keadaan sangat parah. Para pelaku revolusi ini adalah kaum Borjuis (golongan masyarakat kota) yang ingin menggantikan peranan ulama dan kaum bangsawan dalam pemerintahan.

Masyarakat kota (kaum borjuis) merupakan penentang utama dari pemerintah Raja Louis XVI. Sejak pemerintahan Raja Louis XVI anggaran negara selalu mengalami defisit. Hal tersebut disebabkan penghamburan uang negara oleh raja dan kaum bangsawan untuk pesta-pesta mewah. Ada pun tuntutan kaum borjuis itu adalah:

1.      Menjunjung tinggi kebebasan.

2.      Menjunjung tinggi asas persamaan.

3.      Penggunaan akal pikiran yang sehat dan serba perhitungan.

4.      Kehidupan masyarakat bersifat liberalis.

Pertentangan-pertentangan tersebut mengakibatkan munculnya beberapa tokoh pembaharu yang menentang kekuasaan raja, di antaranya John Locke, Montesquieu, Rousseau, dan Voltaire.

Adapun penyebab meletusnya Revolusi Perancis adalah:

1.      Utang negara sudah terlalu banyak.

2.      Pajak yang dibebankan kepada rakyat sudah terlalu tinggi.

3.      Adanya blangko surat penangkapan yang ditandatangani oleh raja.

4.      Kebencian rakyat kepada penjara bastille.

5.      Menghambur-hamburkan uang yang dilakukan oleh permaisuri raja yakni Maria Antoinette.

6.      Adanya pengaruh dari luar, yaitu perang kemerdekaan Amerika Serikat yang menentang pendudukan Inggris di Amerika, yang pada waktu itu Perancis memberikan bantuannya kepada Amerika di bawah pimpinan Jenderal Lafayette, sehingga sekembalinya dari Amerika ia menyebarkan semangat dan cita-cita kemerdekaan, kebebasan, dan persamaan.

Situasi politik di Perancis semakin memanas dan puncaknya adalah serangan rakyat terhadap penjara Bastille pada tanggal 14 Juli 1789. Penjara Bastille merupakan lambang kekuasaan dan sewenang-wenangan Raja Louid, karena di tempat inilah para pemimpin rakyat dipenjarakan. Dengan jatuhnya Bastille ke tangan rakyat Perancis, maka tahun 1791 Perancis menjadi sebuah negara yang berbentuk Monarki Konstitusi (kerajaan berundang-undang) dan Perancis berhasil membentuk sebuah konstitusi, kerajaan raja diatur oleh undang-undang.


Semboyan Revolusi Perancis adalah Liberte (Kebebasan), Egalite (Persamaan), dan Freternite (Persaudaraan). Semboyan ini merupakan hasil pemikiran J.J Rousseau yang kemudian diabadikan dalam bentuk bendera merah, putih, biru dan tanggal 14 Juli diperingati sebagai Hari Nasional Perancis.

Pada saat itu, pelarian kaum bangsawan Perancis dengan dibantu oleh kerajaan Prusia dan Austria melakukan penyerangan untuk mengembalikan kekuasaan absolut di Perancis. Raja Louis XVI pada tahun 1792 dijatuhi hukuman mati dengan dipenggal lehernya.


Golongan bangsawan yang memperoleh kemenangan dalam revolusi mulai berebut untuk berkuasa. Kaum terpelajar bergabung dalam partai Girondin yang menghendaki sistem Monarki Konstitusional dan berhadapan dengan kaum rakyat jelata yang tergabung dalam partai Montagne yang memilih sistem republik.

Kerajaan Perancis akhirnya diubah menjadi republik dengan membentuk Pemerintahan Terror (sistem pemerintahan secara diktator) yang dipimpin oleh Robespierre (1792-1794) dari partai Montagne, tetapi keadaan teta kacau. Setelah keadaan damai partai Girondin mengadakan Cap de’etats dan pemerintahan Robespierre berhasil digulingkan, ia dijatuhi hukuman mati dengan pisau Guillotine.


Pada tahun 1795 Pemerintahan Terror diganti oleh pemerintahan Directoire (1795-1799) dari partai Girondin, tetapi keadaan negara tetap kacau. Salah seorang anggota Directoire yaitu Jenderal muda Napoleon Bonaparte (awalnya hanya seorang Kopral) berhasil menyelamatkan Perancis dari kekacauan dan keberhasilannya ini membawa namanya menjadi terkenal dan diangkat menjadi seorang Konsul pada republik Perancis.

Perancis berada dibawah kekuasaan Napoleon Bonaparte semakin baik. Oleh karena itu, rakyat Perancis memberi kepeercayaan penuh, dan pada tahun 1804 ia mengangkat dirinya menjadi Kaisar Perancis yang diresmikan oleh Paus Pius VII. Dalam melaksanakan pemerintahan, Napoleon terpusat pada satu tangan, yaitu raja, tetapi juga liberal atau disebut Verlicht Depoot (raja mutlak).


Sebenarnya, Absolutisme Napoleon timbul karena adanya Vacum of Power dalam Directoire. Oleh karena itu, Absolutisme Napoleon tidak mungkin lepas dari hasil-hasil yang telah dicapai dalam Revolusi Perancis. Ia melaksanakan pemerintahan dengan corak otokrasi. Adapun langkah-langkah yang diambilnya untuk mengembalikan wibawa Perancis adalah sebagai berikut:

1.      Membentuk pemerintahan yang stabil dan kuat. Pemerintahan dilaksanakan dengan sistem sentralisasi dan administrasi diseragamkan dan menghimpun hukum perdata (code civil).

2.      Memberikan kesejahteraan kepada rakyat, pajak pendapatan diturunkan sebanyak 20 %, pendidikan dikembangkan, perindustrian dan perdagangan diperlancar.

3.      Mengembalikan perdamain dalam negeri. Golongan bangsawan yang telah melarikan diri ke luar negeri diterima kembali dengan syarat tidak menuntut kembali kekayaan yang telah disita oleh negara.

Di bawah pemerintahan Napoleon Bonaparte, Perancis berkembang menjadi sebuah negara yang paling berkuasa di Eropa. Dalam melaksanakan politik dalam negerinya, Napoleon melaksanakan politik dinasti yaitu menempatkan dan mengangkat saudara-saudaranya sebagai raja pada daerah-daerah lain. Tujuan politik ini adalah untuk menjelmakan keturunannya menjadi kaisar Perancis dan wilayah-wilayah Eropa lainnya.


Untuk kepentingan tertentu, Napoleon menceraikan isterinya yang bernama Josephine de Beauharnise dan kemudian mengawini Maria Louise, puteri dari Raja Austria yang memberikan seorang putera kepadanya, yaitu Napoleon II yang kemudian diangkat menjadi Raja Roma (1811-1832).


Sedangkan untuk melaksanakan politik luar negerinya ditunjukkan untuk pembentukan Perancis menjadi negara terbesar di Eropa. Ia juga menginginkan Eropa menjadi sebuah negara federasi dibawah kekuasaan Perancis. Untuk melaksanakan keinginannya tersebut, Napoleon melibatkan Perancis dalam perang-perang koalisi, yaitu:

1.      Perang Koalisi I (1792-1797). Perancis melawan Austria, Prusia, Inggris, Spanyol, Belanda dan Sardinia. Pada perang ini, Perancis mengalami kemenangan yang gemilang dan merampas harta kekayaan dari negara-negara yang kalah, sehingga dapat mengembalikan ekonomi Perancis yang sedang suram.

2.      Perang Koalisi II (1799-1802). Lawan Perancis dalam erang ini adalah Austria, Rusia, Inggris dan Turki. Perancis menang dan diakhiri denga perjanjian Amiens (1802).

3.      Perang Koalisi III (1805). Austria, Rusia, Swedia, dan Inggris melawan Perancis. Wina (Ibukota Austria) diduduki oleh Napoleon dalam pertempuran di Austerlizt (1805). Austria dan Rusia dihancurkan oleh Napoleon dan diakhiri dengan perjanjian preszburg (1805).

4.      Perang Koalisi IV (1806-1807). Lawan Perancis adalah Prusia, Rusia, dan Inggris. Dalam pertempuran di Friedland (1807) Rusia kalah.

5.      Perang Koalisi V (1809). Lawan Perancis adalah Inggris, Spanyol, Portugal, dan Austria.

6.      Perang Koalisi VI (1813-1814). Dalam perang ini, Perancis mengalami kekelahan dalam pertempuran di Leipzigh (1813). Napoleon kalah dalam menghadapi koalisi (gabungan). Napoleon lari ke Perancis untuk mempertahankan Perancis dari serangan koalisi, tetapi usaha ini gagal. Napoleon kalah dan turun dari tahtanya pada tahun 1814 dibuang ke pulau Elba. Raja Perancis diganti oleh raja Louis XVIII (Adi Louis XVII). Dalam kekalahan ini, Perancis menandatangani perjanjian Paris yang isinya adalah sebagai berikut:

Ø  Inggris mendapatkan pulau Malta.
Ø  Perancis mendapatkan batas-batasnya seperti tahun 1792 (batas sebelum kekuasaan Napoleon).

7.      Perang Koalisi VII (1815). Perancis yang berada dibawah Raja Louis XVIII menjadi lemah. Pada tahun 1815, Napoleon kembali ke Perancis. Raja Louis XVIII mengirimkan tentaranya dibawah pimpinan Marsekal Ney, tetapi mereka berbalik memihak Napoleon. Raja Louis XVIII lari, kemudian Eropa membentuk koalisi VII untuk mengatasi Napoleon. Dalam pertempuran tersebut, Napoleon menyerah untuk kedua kalinya. Ia dibuang ke Pulau St. Helena sampai meninggal pada tahun 1821.

Revolusi Perancis yang dicetusi pada tanggal 14 Juli 1789 itu mempunyai beberapa pengaruh dan perubahan di berbagai bidang, di antaranya adalah:

1)      Bidang Politik:

Ø  Negara menjadi Republik.
Ø  Berkembang paham demokrasi modern.
Ø  Timbulnya rasa nasionalisme.
Ø  Undang-undang merupakan kekuasaan tertinggi.
2)      Bidang Ekonomi:

Ø  Sistem pajak feodal dihapuskan.
Ø  Sistem monopoli dihapuskan.
Ø  Petani menjadi pemilik tanah.
Ø  Industri-industri besar bermunculan.
3)      Bidang Sosial:

Ø  Dibentuknya sususnan masyarakat baru.
Ø  Pendidikan dan pengajaran merata di semua lapisan masyarakat.
Ø  Sistem feodalisme dihapuskan.
Ø  Hak asasi manusia dijadikan dasar Code Napoleon.

Selain pengaruh dan akibat bagi dalam negeri, Revolusi Perancis juga membawa pengaruh bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara luas, di antaranya adalah:

1.      Bidang Politik

                        Pengaruhnya dalam bidang Politik, antara lain adalah sebagai berikut:

Ø  Berkembangnya paham liberalisme (kebebasan). Liberalisme adalah paham kebebasan yang berhasil mengahpuskan kekuasaan mutlak (absolut) di daratan Eropa. Menurut paham ini, setiap orang atau negara bebas menentukan nasibnya sendiri, bebas dalam bertindak dan bebas berusaha. Paham liberalisme kemudian meluas di seluruh daratan Eropa, bahkan ke seluruh dunia termasuk ke Indonesia. Pada mulanya, paham liberal ini berkembang di negeri Belanda, ketiak Belanda jatuh ke tangan Perancis dibawah Napoleon Bonaparte. Sejak tahun 1870 pemerintahan di negeri Belanda berada pada kaum liberal. Paham liberal ini tentunya dibawa ke Indonesia sebagai daerah jajahannya. Dampaknya terasa ketika para penanam modal asing menanamkan modalnya di Indonesia dalam bidang perkebunan dan industri. Berkembanglah Kapitalisme, Perbudakan, dan Kerja Rodi yang menyengsarakan rakyat Indonesia.

Ø  Berkembangnya paham berkebangsaan (Nasionalisme). Nasionalisme adalah paham kebangsaan yang berusaha menentang segala bentuk penjajahan untuk mencapai kedaulatan bangsa dan negara. Setelah terjadinya Revolusi Perancis, banyak negara-negara yang melepaskan diri dari penjajahan dan menentukan nasibnya sendiri.

Ø  Berkembangnya perlindungan hukum (The Rule of Law). Napoleon Bonaparte sekalipun bertindak diktaktor, namun telah melaksanakan dasar-dasar negara hukum yang melindungi rakyatnya. Sejak saatt itu, banyak negara di Eropa yang menerapkan hukum dalam pemerintahannya. Siapa yang bersalah akan dikenakan sanksi hukum sesuai dengan kesalahannya.

Ø  Berkembangnya sisitem demokrasi dan bentuk republik. Revolusi Perancis ditujukan untuk menentang kekuasaan mutlak dan menggantikannya dengan sistem demokrasi yang mengikutsertakan rakyat dalam pemerintahan melalui wakil-wakilnya. Perancis juga merintis bentuk negara Republik yang kemudian banyak ditiru oleh negara-negara lain di dunia. Indonesia sendiri menganut sistem pemerintahan demokrasi dalam bentuk negara Republuk, karena sistem dan bentuk inilah yang paling sesuai di negara kita dan lebih mengutamakan kepentingan rakyatnya.

Ø  Berkembangnya paham kesamaan derajat. Revolusi Perancis diarahkan pula pada usaha-usaha menghapuska diskrimanasi dalam kedudukan, status sosial, agama, dan warna kulit. Rakyat Perancis menuntut adanya pengakuan persamaan derajat, bukan pengkotak-kotakan seperti yang terjadi waktu itu. Paham ini juga meluas ke seluruh negara di dunia, termasuk ke Indonesia. Dengan adanya Revolusi Perancis yang menuntut adanya persamaan derajat, banyak para pemimpin bangsa Indonesia yang memperjuangkan pengakuan adanya persamaan derajat ini. Bahkan, sekarang persamaan derajat tidak hanya bagi kaum pria, tetapi kedudukan kaum pria dan kaum wanita sama dalam hukum dan pemerintahan. Pengakuan persamaan derajat itu kemudian berkembang pada pengakuan hak-hak asasi manusia. Bahkan, pengakuan terhadap hak asai manusia kini telah membudaya secara intenasional.
2.      Bidang Sosial-Ekonomi

Pengaruh Revolusi Perancis dalam bidang Sosial-Ekonomi dalam dijelaskan sebagai berikut:

Ø  Pengahapusan perbudakan karena tidak sesuia dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Sebelumnya, perbudakan di dunia sangat merajalela. Orang yang lemah diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-orang yang kuat. Bangsa terjajah diperlakukan semena-mena oleh kaum penjajah. Keberhasilan kaum liberal di negeri Belanda, misalnya, telah menghapuskan Sistem Tanam Paksa di Indonesia yang banyak menyengsarakan rakyat Indonesia. Waktu itu, rakyat Indonesia diperbudak untuk menggarap sebagian tanahnya untuk menanam tanaman yang laku di pasar Eropa.

Ø  Pemungutan pajak dilakukan secara adil dan merata. Sebelum Revolusi Perancis, rakyat Perancis diperlakukan secara tidak adil dalam bidang perpajakan. Rakyat biasa dikenakan untuk membayar pajak. Sebaliknya, kaum bangsawan bebas membayar pajak. Keberhasilan Revolusi Perancis telah membawa keadilan, karena pajak dikenakan kepada seluruh rakyat, tanpa pilih kasih.

Ø  Menghapus diskriminasi dalam masyarakat. Sebelum Revolusi Perancis, rakyat di Eropa terbagi atas kotak-kotak yang masing-masing berbeda hak dan kewajibannya. Keberhasilan Revolusi Perancis telah menghapus pengkotak-kotakan masyarakat tersebut. Tidak ada lagi golongan bangsawan, ulama, atau rakyat jelata. Semua rakyat mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Hal itu mengalami bangsa Indonesia untuk menuntut persamaan hak dan kedudukan dengan bangsa Belanda sebagai pihak penjajah. Sebelumnya, bangsa Indonesia menerima saja diperlakukan sebagai kelas paling bawah dalam susunan masyarakat pemerintahan kolonial Belanda.

Ø  Penghapusan sistem monopoli dalam perdagangan. Setelah terjadinya Revolusi Perancis juga membawa perubahan di bidang ekonomi, terutama dalam bidang perdagangan. Pada masa liberalisme, di Indonesia telah dihapuskan sistem monopoli diganti dengan kebebasan dalam berusaha. Pada masa liberalisme, rakyat kita bebas dalam mengatur perekonomiannya, yang ditandai dengan penghapusan sistem tanam paksa dan kerja rodi.